JORDAN'S SLAM DUNK'S

Rabu, 30 April 2008

ainx banget

QUO-VADIS MASYARAKAT INDIE
Jul 30, '05 3:51 PMfor everyone
QUO-VADIS MASYARAKAT INDIE
Masyarakat Anti-Kemapanan yang terjebak dalam Kemapanan Baru

By Indra

" kita sebagai bagian dari masyarakat indie, yang artinya 'tidak bergantung kepada siapapun' atau 'masyarakat yang mandiri' harus melihat lagi arah pergerakan kita....lantas apakah hanya dengan mendirikan clothing, distro dan perusahaan media indie atau menyuarakan anti-major, anti-komersialitas kemudian kita merasa cukup telah menyumbang dalam pergerakan anti-kemapanan baru (anti-establishment)? Atau bahkan mungkin, kita telah terjebak dalam suatu kemapanan baru (new establihment)?

Dengan sedikit mengutip dari pertanyaan Rangga, artikel ini ditulis dalam menganggapi perkembangan musik indie sebagai suatu femonena yang mesti ditanggapi secara kritis demi perkembangannya ke depan.

Sebelumnya, di sini perlu diklarifikasi terlebih dahulu, bahwa AAL*, sejak pertama kelahirannya, tidak pernah 'mengusung' atau 'menyandarkan diri pada aliran tertentu secara terbatas, selama ini media dan opini umum masyarakat-lah yang mengkategorikan musik kita sesuai dengan perkiraan mereka(seperti dalam lembaran belia, ripple magz, frolic, dsb.), dan memang diakui, mayoritas diantara mereka menyebut kita sebagai band rock indie beraliran emo, hanya Majalah Surf Time yang mengkategorikan kita sebagai band berhaluan post-hardcore. Tapi, sekali lagi, ini bukan berarti kita beraliran emo. Yang harus dipahami di sini adalah, bahwa terminologi 'emo' seperti yang biasa dibicarakan oleh banyak orang mengandung tiga pemahaman, yaitu: (1) sebagai suatu genre musik (2) sebagai suatu identitas komunitas, dan yang terakhir, (3) sebagai suatu fenomena perubahan sosial









(1) Sebagai suatu genre musik, emocore termasuk musik yang agak terlambat masuk ke Indonesia, dimana sejak awal kemunculannya, pada tahun 1984, baru saat sekarang ini emo muncul sebagai jenis musik yang sangat banyak diminati, baik di Jakarta, Bandung, Yogya, Semarang, Medan, Kalimantan, Sulawes, dsb. Genre Musik ini, sebagaimana genre musik lainnya sangat mustahil muncul dengan sendirinya. Semua aspek budaya manusia, termasuk di dalamnya hal ini, emo, punk, metal, hardcore, rock 'n' roll, sangat bersifat 'dialektis', yang artinya terbentuk dari berbagai pengaruh budaya lain yang sebelumnya dan saat itu, ada. Tidak dalam hal style dan audio-visual saja, tapi secara ideologis, musik sangat besar dipengaruhi oleh situasi dan kondisi sosial subjek di sekitarnya, jika kita lihat akar musik underground di dunia, semua berasal dari satu moyang, jazz, blues dan klasik. Dan corak masing-masing generasi dari genre musik tersebut, sangatlah berbeda satu sama lainnya, sesuai dengan kondisi zamannya, dan poin inilah yang akan saya jelaskan di poin ke-3 di bawah.

(2) Sebagai suatu komunitas, kesamaan hobi dan selera dalam musik, dalam hal ini, emo-core, screamo, dsb. mendorong suatu pergerakan sosial yang secara informal, mengumpulkan masyarakat muda untuk tergabung dalam even-even musik khusus, melalui media langsung dan tidak langsung menyatukan para individu yang berlatar belakang beda-beda dalam satu kesamaan hobi; all stuffs around emo. Atau sebagai contoh di Indonesia ini, kita mengenal suatu komunitas musik progesif rock yang bernama 'Indonesian Progressive Society' (IPS).

(3) Sebagai suatu fenomena perubahan sosial, di sinilah yang paling menarik. Sejak kemunculan 'Emo' dalam belantika musik di Indonesia, khususnya di generasi masyarakat Indie, kehadiran genre musik dan style dari Amrik ini membawa angin kontroversial yang cukup besar (bisa jadi hanya dibesar-besarkan, atau memang betul-betul besar dari sananya). Mengapa? karena berdasarkan fakta dari observasi saya, banyak diantara mereka yang menyukai 'musik emo' tapi di sisi lain, mereka membencinya hanya karena faktor 'fashion' (kulit luar)-nya saja, yang pada akhirnya bercampur aduk dengan penafsiran yang 'abstrak' dan akhirnya, melahirkan apresiasi musik yang abstrak pula tanpa ada kesimpulan objektif yang nyata dari jenis musik tersebut. Mari kita bahas lebih mendalam akar masalahnya:

Jika kita perhatikan, perjuangan masyarakat Indie di Indonesia sekarang yang dimotori oleh kaum muda-mudi yang unik dan kreatif, berakar dari perjuangan kaum muda-mudi underground Indonesia pada era akhir 80-an dan 90-an. Hanya sedikit barangkali diantara generasi kita sekarang yang mengenal tokoh-tokoh underground lokal, khususnya di bandung, pada era tersebut. Sebagaimana dari term 'underground' (bawah tanah) itu sendiri, yang merupakan suatu kata bermanifestasi 'perlawanan' terhadap budaya mainstream atau budaya pop (arus utama). Ini bukan berarti, mereka ingin sok berbeda atau menciptakan 'agama' tersendiri. Tapi, di dalam era undeground pada saat itu, terdapat suatu bentuk perjuangan sosial dan politik informal masyarakat dalam bentuk karya musik yang bebas dari etika yang kaku dan style sehari-hari yang 'totally out of mainstream'...dan rebellious! seperti rambut mohawk, anting, tattoo, even until using drugs....semua merupakan fenomena yang harus kita lihat sebagai simbol perlawanan mereka terhadap era modern, yang sejujurnya, membawa kerusakan moral dan lingkungan, kehancuran cinta damai dan pembasmian aspek manusiawi dari setiap individu di dunia, dan inilah yang biasa kita sebut sebagai 'gerakan anti-kemapanan'.

Dalam era undeground tersebut, kita masih mengenal genre musik death-metal, hardcore, Punk, Ska, Melodic, dsb. dan di masa itu, masa muda Indonesia sebagaimana di seluruh dunia pada umumnya sudah menyukai jenis musik ini, apalagi di dalamnya membawa suatu pesan 'perlawanan' terhadap penindasan yang selalu mereka rasakan dari pemerintahan Orde Baru. Namun, kini, pada abad ke-21, istilah 'underground' dalam komunitas musik masyarakat indie sudah jarang dipakai lagi, malah hampir tidak pernah! Di sini, harus dikatakan secara jujur, bahwa terminologi 'underground' sudah tidak populer seperti dahulu.

Mengapa? salah satunya, hal ini bisa jadi karena setelah era reformasi bergulir (1998), dimana kekuasaan Orde Baru dan Suharto runtuh, porsi individualitas kelompok dan kebebasan pers mendapatkan 'kesempatan emas' yang paling penting dalam sejarah, dimana kemudian muncul istilah-istilah baru yang dimunculkan media yang lebih moderat dibandingkan sebelumnya, seperti istilah indie. Kemudian, kebanyakan generasi muda kita merasa bahwa perjuangan bersama telah berakhir pada saat itu, sehingga kemudian mereka kebanyakan sibuk dengan memikirkan kepentingannya sendiri. Andaikan ada jargon-jargon perjuangan baru....mereka tidak lebih dari sekedar retorika kosong! Dimana jargon anti-komersil, anti-major, counter-culture, anti-rasis, komunalisme, anti-kapitalis, pro-indie hanya digunakan sebagai penguat identitas diri atau kelompoknya dibandingkan untuk perjuangan itu sendiri, hal ini sangat mudah dengan mempertanyakan kepada kita sendiri...'konsep perjuangan apa yang ingin kita gunakan?' . Dan yang terakhir, secara filosofis, bisa jadi makna 'underground' itu sendiri telah hilang makna secara dialektis sealur dengan berjalannya waktu di era globalisasi ini.

Dan kita sebagai bagian dari 'masyarakat indie', yang artinya tidak bergantung kepada siapapun, atau 'masyarakat yang mandiri' harus melihat lagi arah pergerakan kita...lantas apakah dengan mendirikan clothing, distro dan perusahaan media indie dan menyuarakan anti-major, anti-komersialitas kemudian kita merasa telah cukup menyumbang untuk perjuangan 'anti-kemapanan' (anti-establishment)? Atau mungkin selama ini, kita telah terjebak dalam kemapanan bentuk baru (new-establishment)?

Menurut hemat saya, kebanyakan dari kita telah terjebak oleh suara-suara dan ide-de kita sendiri, dimana yang tadinya kita menentang sistem kapitalis, justru kita malah menerapkan sistem tersebut dalam kehidupan kita. Maka dari itu, saya pribadi dan kebanyakan teman-teman kami yang sudah lama menghidupi kehidupan di masyarakat underground sudah tidak tertarik lagi sama sekali dengan perdebatan ideologis semacam ini. Kita katakan, Ideologi sekarang sudah mati! Dan Ideologi ini hanya laku bagi orang-orang yang hobinya mempolitisir kehidupan orang lain untuk kepentingannya pribadi. Selanjutnya, biarkanlah kami mengatur hidup kami sendiri... (D.I.Y)

Alone At Last*, dan beberapa band lokal lainnya di Bandung, sudah tidak peduli dengan masalah indie-label dan major-label, penamaan genre musik, yang pasti, kami dibesarkan dari berbagai jenis genre musik, antara lain: musik etnik, punk, ska, grunge, metal, blues, jazz, reggae, hardcore, klasik, rock 'n' roll, dsb. Bagi kami, masalah emo sebagai trend yang akan mati atau terbang atau sejenisnya sudah tidak relevan untuk dijadikan pembahasan pada masa sekarang ini. Seharusnya, orang-orang termasuk media lebih membuka diskursus mengenai relevansi pelabelan genre suatu jenis musik secara lebih terbuka dan pluralis, ketimbang menolak secara sinis eksplorasi musik-musik baru sebagai khasanah sub-kultur yang akan memperkaya budaya kita nantinya . Dan bukankah menolak sesuatu yang baru merupakan bukti bahwa kita terjebak pada suatu bentuk kemapanan yang baru? (Di dalam hal ini, kita tidak mau berubah dan merasa sudah mapan?)

Melihat konteks industri musik saat ini, baik major maupun indie, keduanya masih memiliki konsep bisnis yang secara mendasar mirip, yang membedakan hanyalah afiliasi perusahaan rekaman tersebut. Sejak dirilis oleh Absolute Records (Andhika;Gitaris Turtle Jr.) pada awal tahun 2005 ini, Alone At LAst* tidak pernah dipaksa untuk terus bersikukuh di bendera Absolute (indie) atau pindah ke major label untuk ke depannya, meskipun hingga sekarang ini, kita masih bekerja sama dengan baik dengan pihak Absolute Records. Hal ini, karena, Andhika pribadi, dan bersamaan dengan Mas Chareul (Gitaris Noin Bullet) mengatakan, bahwa mereka tidak tahu sejujurnya yang terbaik buat Alone At Last*, sehingga segalanya diserahkan kembali kepada kita semua dan managemen untuk menentukan. Begitupun dengan managemen Lonely End yang dijalankan oleh Keusik dan Anoy, dimana sistem yang kita laksanakan adalah sistem manajemen kekeluargaan yang menghargai profesionalitas dalam bekerja, namun tetap menghargai rasa saling menghormati, bahkan saling mengingatkan satu sama lain tanpa membatasi ruang gerak masing-masing anggota untuk berpikir dan bertindak.

Dan menurut saya, inilah contoh konsep independen atau indie yang sesungguhnya, dimana tidak ada larangan dan aturan yang memaksa kita untuk melangkah, dimana segala sesuatu yang terbaik untuk kita adalah hanya dengan mendengarkan nurani kita sendiri untuk bertindak secara kreatif dan mandiri, tanpa ada tekanan yang keras dari manapun, kita akan selalu bisa melahirkan sesuatu yang baru tanpa perlu menjerumuskan diri kita kepada ideologi-ideologi usang yang menekankan kita kepada suatu 'keterbatasan' moralitas sehingga merasa berhak untuk menjudge atau menjustifikasi orang lain tanpa menghasilkan suatu karya pemikiran yang baru satu pun (*ind

Selasa, 29 April 2008

Senin, 28 April 2008

rian ramadhan

rian ramadhan yang baik hati